[Lipkhas] Berkunjung ke Rumah Antik Juragan Teh Malabar

[Lipkhas] Berkunjung ke Rumah Antik Juragan Teh Malabar

PANGALENGAN, AYOBANDUNG.COM — Tepat berada di tengah-tengah kebun teh seluas 11.300 hektare di Pangalengan, Kabupaten Bandung, berdiri sebuah rumah bergaya Eropa. Rumah dengan nuansa putih tersebut dibangun pada 1896, tak berjauhan dengan momen saat sang pemilik, Karel Albert Rudolf Bosscha, membuka Perkebunan Teh Malabar. Meski sudah berusia lebih dari satu abad, rumah itu masih tampak terurus. Bahkan di dalamnya masih tersimpan barang-barang pribadi milik Bosscha. Rumah Bosscha memiliki ruangan terbuka yang saling terhubung. Seperti ruang tamu, ruang tengah, dan ruang makan yang tak disekat, tetapi memperlihatkan batas-atas yang jelas. Sementara di samping selatan terdapat dua kamar tidur yang disambungkan oleh lorong. Begitupun dengan toilet yang terhubung dengan lorong dan pintu samping yang langsung menuju ke luar. Adapun dapur, terletak di bagian belakang rumah dan bersebelahan dengan pintu menuju gudang bawah tanah.

Menurut penuturan Kepala Wilayah Agrowisata Malabar Suhara, Rumah Bosscha dibangun dengan material yang tidak sama seperti pembangunan rumah saat ini. Rumah tersebut dibangun tanpa semen. Pembangunannya hanya menggunakan dua material, yaitu cadas dan kapur. Bagian-bagian rumah Bosscha pun tidak direkatkan dengan paku. Setiap kusen yang ada direkatkan oleh pasak.

Menurut penuturan Kepala Wilayah Agrowisata Malabar Suhara, Rumah Bosscha dibangun dengan material yang tidak sama seperti pembangunan rumah saat ini. Rumah tersebut dibangun tanpa semen. Pembangunannya hanya menggunakan dua material, yaitu cadas dan kapur. Bagian-bagian rumah Bosscha pun tidak direkatkan dengan paku. Setiap kusen yang ada direkatkan oleh pasak.

Selain itu konstruksinya pun dibuat dengan teknologi antigempa, yakni menggunakan peredam berupa ruang kosong pada dinding dan tiang yang terbuat dari bilik. Sehingga saat gempa terjadi, ruang kosong tersebut mampu meredam getaran. Rumah Bosscha pun bebas dari retakan meskipun gempa-gempa besar sering melandanya. “Makanya rumah ini walaupun sudah terkena gempa berkali-kali tetap kokoh. Alhamdulillah tidak ada yang rusak bagian dinding dan pondasinya. paling gentengnya saja yang berjatuhan,” ujar Suhara pada Ayobandung.com, Jumat (6/12/2019).

Perabotan Milik Bosscha Barang-barang milik Bosscha masih berada di tempatnya, persis sama dengan saat pemilik masih ada. Seperti piano yang terletak di sudut selatan ruang tamu. Begitu juga dengan kursi dan meja. Menurut Suhara, kursi-kursi di Rumah Bosscha tidak pernah diganti, kecuali hanya joknya saja. Ada bagian rumah yang tampak menonjol dari yang lain, yakni perapian dan cerobong asap di bagian ruang tengah. Perapian tersebut dikelilingi oleh kursi dan meja. Di situlah biasanya Bosscha dan keluarga menghangatkan diri saat suhu dingin Malabar menusuk sampai ke tulang.

Berbeda dengan ruang lainnya, kamar di Rumah Bosscha terasa sangat hangat. Dindingnya dilapisi oleh ornamen kayu yang diplitur dengan warna cokelat. Sementara bagian lantai sama seperti ruangan lain, memakai tegel kayu cokelat bermotif anyam. Adapun perabotan dapur asli milik Bosscha yang masih ada adalah tempat air minum berbentuk tabung berwarna putih. Perabotan pabrikan inggris tersebut masih dapat berfungsi dan digunakan sampai sekarang. Di bagian depan tempat air minum tertulis, “Pure Drinking Water Filter-Slack & Brownlow LTD–The Brownlow Filter–London and Tonbridge–Made in England.” Di dinding ruang makan terdapat peta perkebunan teh yang dikuasai oleh Bosscha. Suhara mengatakan, peta tersebut merupakan peta duplikasi yang sudah diperbaharui oleh Peter Moorbeek, seorang peneliti asal Belanda yang pernah berkunjung ke Rumah Bosscha. Sementara peta yang asli masih tersimpan utuh di gudang bawah tanah yang terletak di bawah Rumah Bosscha.

Peta berjudul ‘Overzichtskaart van De Kota Pangalengan en Omgeving’ itu menggambarkan wilayah kebun teh yang dikuasai oleh Karel Albert Rudolf Bosscha. Di bagian atas peta, terdapat keterangan gambar Soreang, Banjaran, dan Ciparay. Kemudian semakin ke bawah menunjukkan keterangan Reg.Garut, hingga wilayah Papandayan. Namun sayangnya peta tersebut tidak bisa dibaca orang awam, lantaran kata-kata yang dipakai sepenuhnya menggunakan bahasa Belanda.

Tak hanya Peta, beberapa foto hitam putih pun terpajang di dinding rumah. Di ruang tengah terdapat foto hitam putih mulai dari foto kondisi rumah saat Bosccha masih hidup sampai para pemain music yang biasa melakukan pertunjukan diselasar utara rumah.

Suhara menyampaikan, selain sudut piano, salah satu sudut favorit Bosscha adalah selasar selatan, di mana pertunjukkan musik tradisional sering digelar untuk umum. Bukan hanya karena terbuka dan langsung tersinari matahari, selasar selatan menjadi tempat yang Bosscha sukai lantaran lokasinya berdekatan dengan tempat penangkaran hewan. Di situ Bosscha bisa langsung melihat hewan-hewan peliharaannya seperti burung merak, kasuari, dan rusa Selain barang-barang pribadi Bosscha, ada juga beberapa lukisan yang ditaruh di rumah jauh setelah Bosscha wafat. Seperti lukisan kuda yang diletakkan di dinding atas piano dan lukisan tiga dimensi Puteri Bali yang dipajang di ruang tengah. Klinik dan Tempat Penampungan Air Kepedulian Bosscha yang sangat dikenang, salah satunya tampak dari keberadaan klinik untuk para pegawai. Klinik tersebut dibangun tepat di sebelah selatan Rumah Bosscha. “Dulu di sini adalah klinik untuk pegawai. Jadi kalau ada pegawai yang sakit mereka berobat ke sini gratis,” ujar Suhara.

Bangunan klinik ini berupa hanggar dengan atap yang tinggi. Catnya yang berwarna putih masih terlihat sampai sekarang walaupun warnanya sudah agak memudar. Selain digunakan sebagai klinik, menurut Suhara, bangunan tersebut juga digunakan untuk laboratorium. Dulu para mantri selalu bertugas selama 24 jam, berjaga kalau-kalau ada pegawai perkebunan yang tiba-tiba jatuh sakit. Meski saat ini bangunan klinik masih terawat, peruntukkannya sudah berubah sejak beberapa tahun lalu. Sekarang bangunan tersebut difungsikan sebagai gudang. Sama seperti rumah Bosscha, bangunan klinik yang terdiri dari material kayu ini hanya direkatkan oleh pasak dan baut. Berjalan ke bagian belakang klinik, kita dapat melihat dua tower tangki air menjulang tinggi sekitar 7 meter. Tangki-tangki tersebut dibuat dengan metal serupa besi. Hebatnya, hingga sekarang tangki air tersebut masih digunakan dan tidak bocor barang setitik pun. “Dulu tangki-tangki ini digunakan untuk menyalurkan air bersih ke rumah Bosscha, Pabrik Teh Malabar yang pertama, dan perumahan warga dan pegawai,” kata Suhara.

Namun karena saat ini Pabrik Teh Malabar sudah pindah ke Tanara dan rumah warga sudah punya sumber air masing-masing, tangki tersebut hanya digunakan untuk mengaliri air ke Rumah Bosscha dan Penginapan Malabar yang terletak tepat di belakang Rumah Bosscha. Di samping tangki terdapat kolam air berukuran sekitar 60 meter persegi. Di sekitarnya terdapat pipa-pipa, baik yang terbuat dari metal peninggalan Bosscha, dan plastik yang sudah diperbaharui belum lama ini. Semua peninggalan Bosscha itu masih dapat kita lihat secara utuh di bekas tempat tinggalnya di tengah tengah Perkebunan Teh Malabar.

https://www.ayobandung.com/read/2019/12/10/72677/lipkhas-berkunjung-ke-rumah-antik-juragan-teh-malabar

Share this post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *