Ngopi Bareng Eighters #15. Industri Hilir Teh PTPN VIII : Si Anak Hilang Yang Reborn….

Ngopi Bareng Eighters #15. Industri Hilir Teh PTPN VIII : Si Anak Hilang Yang Reborn….

Assalamualaikum Wr Wb

Salam Eighters……..TANGGUH, PANTANG MENYERAH..!!!

Malam ini  dalam perjalanan Surabaya – Jakarta dengan menggunakan pesawat Batik Air, ternyata di pesawat  saya ngga bisa tidur. Iseng-iseng saya coba berbagi cerita mengenai Industri Hilir Teh PTPN VIII. Industri yang hampir ditutup oleh manajemen karena dianggap selalu merugikan perusahaan.

Hari Selasa tanggal 13 September 2022 kemarin saya berkesempatan untuk menghadiri rapat koordinasi Tim Supporting Co di Surabaya yang dibentuk berdasarkan SK Direktur Utama PTPN III Holding No 127 tahun 2022 tentang Tim Transisi Palm Co dan Supporting Co di PTPN Group yang bahkan sudah masuk dalam salah satu Program Strategis Nasional yang ditetapkan dalam Permenko Perekonomian No 9 tahun 2022.

Tak lupa saya mengajak pak Sugama, salah satu striker yang kemarin saya ceritakan dalam Ngopi Bareng Eighters sebelumnya. Tokoh ini yang saya pasang untuk menjebol gawang penjualan teh retail dan berbagai variannya.  Apa hubungan antara Tim Supporting Co dengan IHT PTPN VIII?  Ngga ada…sama sekali.

Saya ajak pak Gama alias “A Cong” ke Surabaya karena ada urusan pengembangan Industri Hilir Teh PTPN VIII baik dari sisi pasar, distribusi ataupun muatannya. Jadi “Sekalian” saja saya ajak, atau istilah bahasa jawa “Ngiras Ngirus”, biar tahu juga perkembangan Supporting Co PTPN.   Kill two birds with one stone alias sambil  menyelam minum air.

Dalam satu sesi ngobrol bersama, Pak A Cong yang sudah saya beri “trade mark” sebagai ahlinya retail – bukan cuma casing-nya saja tetapi processor-nya juga – bercerita bagaimana perkembangan IHT PTPN VIII. Diawali ketika dijadikan lokomotif bagi  PTPN VIII sampai diparkir di DEPO bahkan hampir di “Scrap” layaknya besi tua sampai coba dihidupkan kembali.

Saat saya ditugasi oleh pak A Ghani  – Dirut PTPN III Holding ke PTPN VIII, saya melihat bahwa lokomotif ini kalau di perbaiki, di paskan sekrup-sekrupnya, diganti mesin-mesinnya, maupun remnya dan dicat kembali bisa jadi akan menjadi lokomotif yang bisa berlari kencang sekaligus sedikit “glowing”. Namun jangan samakan dengan Kereta Cepatnya TGV ya…. Kalau saat ini ya pasti masih jauh.  Entah 5 atau 6 tahun ke depan, jangan-jangan bisa lebih kencang lagi.

Saya sendiri masih meyakini bahwa value tertinggi dari suatu produk komoditi terletak pada produk hilirnya.  Bagaimana tidak, Presiden kita saat ini saja berani melawan WTO  dengan tetap tidak mengijinkan ekspor ore atau bahan mentah karena beliau meyakini bila ore ini diolah didalam negeri akan meningkatkan pendapatan negara dari Rp 15 Triliun atau US$ 1,5 miliar menjadi Rp 300 Triliun atau US$ 20,8 miliar.

Diceritakan oleh pak A Cong – Komandan IHT, bagaimana saat IHT dijadikan sebagai lokomotifnya PTPN VIII. Waktu itu seluruh perangkatnya dipenuhi dan dilengkapi, mulai dari SDM, finansial sampai ke Operasionalnya. Saat itu saya juga masih ingat bahwa PTPN VIII pernah menciptakan satu produk yang RTD. Tahu RTD? Bukan Rida Tita Dewi lho… eh sorry Rida Sitta Dewi ding… Dia girl band yang kesohor era tahun 1990 an. RTD ini adalah minuman jenis teh Ready To Drink.  Ada dua varian yang saya ingat waktu itu yaitu Peko Black Tea dan Peko Green Tea. Saya sempet mencoba rasanya dan menurut saya cukup enak, namun ada kelemahannya yaitu mbuka segel penutupnya yang rada susah… Waktu itu sempet saya sampaikan ke Direksi yang masih dijabat oleh pak Dadi. Setelah itu saya tidak lagi mengikuti perkembangannya sampai mana, sampai akhirnya saya kembali ke PTPN VIII sebagai Direksi yang saya lihat minuman RTD tersebut sudah tidak ada bekasnya se-acan-acan….seolah-seolah hilang tak berbekas…kayak iklan : “Bablas Angine….”  Alangkah malang nasibmu. Si Calon bintang yang  jadi anak hilang.

Saat ini IHT sudah berjalan lagi meski masih terseok-seok dengan berbagai keterbatasannya. Revenue tahun 2021 sudah cukup baik yakni mencapai Rp 41,17 miliar atau menyerap 6,19% total volume penjualan teh PTPN VIII. Hanya saja saya minta tahun ini – di tahun 2022, revenuenya harus mampu mencapai minimum Rp 100 milyar.  Pak A Cong sempat terlonjak kaget begitu saya minta revenuenya naik menjadi Rp 100 milyar, dan sempet nawar menjadi Rp 60 milyar namun saya masih “keukeuh” ngga mau turun. Dengan lemas dan langkah gontai beliau menemui saya…masih pengen nawar he he he… Rupanya sang processor belum siap pindah jaringan dari 4G ke 5G!

Beliau membayangkan bagaimana menghela lokomotif tua yang mesinnya rusak di sana sini ditambah dengan banyak rantai yang membelenggu tapi diminta menambah kecepatan hingga Rp 100 milyar per tahun dari kecepatan awal Rp 41 milyar per tahun. Untuk mencapai kecepatan Rp 41 milyar per tahun saja, kata pak A Cong sudah berdarah-darah dan penuh dengan keluh kesah bahkan sampai jungkir balik.

Saya sendiri tidak asal nyebut angka, karena saya yakin kalau berbagai belenggu yang mengikat IHT bisa dilepaskan dan beberapa mesinnya di remajakan atau yang rusak sana sini mulai diperbaiki, saya yakin angka kecepatan Rp 100 milyar per tahun bukan hal yang mustahil untuk dicapai.  Untuk membantu pak A Cong memacu lokomotif IHT tersebut, saya menerapkan beberapa kebijakan yang tentunya sudah saya diskusikan bersama, baik dengan SEVP maupun dengan pak A Cong sendiri.

Kebijakan pertama, yang saya tetapkan adalah memberi ruang yang lebih leluasa agar IHT bisa bermanuver dengan berbagai kreativitas dan kebijakan internal unit yaitu dengan mengubah IHT dari unit struktural PTPN VIII menjadi SBU (Strategic Business Unit) dengan pelimpahan kewenangan di bidang finansial, operasional maupun pengadaan. Kreativitas saya beri kebebasan seluas-luasnya semua orang boleh menyampaikan ide atau mimpinya tentang IHT.   Dari ini saja sudah mulai muncul ide-ide baru dari teman-teman IHT dan saya sangat menghargai serta mengapresiasi, salah satunya sudah muncul saat  saya tulis di Ngopi Bareng Eighters #6. Memang awalnya saya yang melempar ide tersebut, namun ini menjadi letupan dahsyat di IHT dan alhamdulillah IHT  berhasil menelurkan varian teh Walini baru yang berjenis kelamin “Syrup Tea”.  Saat ini bayi Walini tersebut masih dalam inkubasi karena menunggu Uji Kestablian Produk yang memakan waktu 6 bulan sekaligus lagi ngurus akta kelahirannya di BPOM.

Dengan kelahiran produk baru tersebut kelihatannya adrenalin pak A Cong mulai tergugah dan saat ini sedang sangat menggebu-gebu untuk mencapai kecepatan Rp 100 milyar per tahun.  Produk adiknya sedang dalam kandungan. Masih di tahap Riset, insha Allah akan segera muncul lagi setelah Syrup tea resmi launching di dunia persilatan teh nasional. Namun saya sudah wanti-wanti agar kita belajar dari kesalahan masa lalu dan tidak mengulangi lagi sejarah RTD Walini Peko Black Tea dan Peko Green Tea.

Kebijakan kedua, saya persilakan pak A Cong untuk mulai merekrut tenaga-tenaga sales dan menambah distributor-distributor baru agar dapat memperkuat dan mempertajam tendangan sehingga bisa menambah pasar baru bahkan pengadaan sampai batas tertentu saya limpahkan kewenangannya ke IHT.  Penempatan struktur organisasinya pun tidak lagi di bawah GM namun langsung di bawah SEVP.   Bila perlu kita adakan sales atau distributor Gathering di salah satu tempat wisata kita….agar hubungan PTPN VIII dengan sales dan distributor menjadi lebih dekat…..

Kebijakan ketiga, meminta kepada Mas Dinnar, Kabag Opset yang baru agar semua kontrak dengan mitra yang kerjasama dengan PTPN VIII dalam memanfaatkan lahan untuk mengembangkan wisata kuliner atau restoran diwajibkan menjual produk-produk teh Walini di setiap gerai yang dibuka di lahan PTPN VIII. Syukur-syukur mereka mau menjual juga di gerai mereka yang dibuka diluar areal PTPN VIII.

Kebijakan keempat, saya meminta kepada Pak A Cong agar mem”bundling” produk teh dengan produk lain yang dibutuhkan oleh customer-customer lama yang bergerak di Horeka seperti teh sekaligus dengan gula, bila horeka tersebut butuh minyak goreng kita carikan minyak goreng, bila butuh beras kita carikan beras. Sehingga muatan sales IHT menjadi lebih bervariasi dan lebih banyak lagi.

 

Kebijakan kelima, saya meminta agar SOP di bidang produksi diubah. Jangan lagi membuat teh berdasarkan grade namun tidak laku,  tapi buatlah produk teh yang dibutuhkan oleh konsumen atau yang disenangi pembeli. Saya sering berseloroh dengan pak Wis – SEVP Operasional, konsumen akhir itu tidak tahu teh yang diminum ini grade I, II atau bahkan off grade. Mereka ngga akan bertanya apakah teh yang diminum ini jenisnya B-1, BM, BOP, Fanning, Dust atau apa lah nama-nama grade teh yang lain. Tahunya teh yang mereka minum adalah “Nasbengipet” atau “Panas Bening Wangi dan Sepet”. Selama ini mungkin yang  viral di daerah Jawa Tengah dan DIY adalah istilah “Nasgitel” atau “Panas Legi Kentel”.

 

Saya juga berpesan kepada pak Gama, dengan berbagai terobosan IHT tersebut terutama kebijakan “bundling” produk teh,  pasti akan ada yang gerah karena kenyamanannya terganggu. Oleh karena itu harus sangat berhati-hati dalam menjalankan kebijakan tersebut tidak boleh tergesa-gesa dan tergiur tawaran-tawaran yang sangat menarik. Harus dilihat berbagai risiko dan impactnya bagi PTPN VIII maupun bagi IHT bahkan bagi diri sendiri. Tapi jangan jadikan hal ini alasan untuk melangkah mundur. Ingat, Huawei tetap fokus mengembangkan 5G meskipun dimusuhi Donald Trump ! Jangan sampai IHT ibarat anak yang hilang sudah reborn kemudian hilang lagi.

Akhirnya ….pesawat mendarat di Bandara Soekarno Hatta dan saatnya saya tutup diskusi kita kali ini.

Selamat bekerja Eighters IHT…semoga Allah meridhoi dan memberkahi langkah kita semua…aamiin

Mari kita pekikkan Yel-yel kita ….EIGHTERS………TANGGUH, PANTANG MENYERAH…..!!

 

Batik Air, September 2022

Didik Prasetyo

Share this post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *