Khawatir Kini Kina Tinggal Nama

Khawatir Kini Kina Tinggal Nama

Aki Kina…

Asa rempan, Kina kiwari tinggal ngaranna

Kina, kiwari atuh kamana…

Bait-bait sisindiran itu dilantunkan oleh grup kesenian tradisional reog Perkebunan Batulawang PTP XIII, sekarang digabungkan dengan PT Perkebunan XI dan XII menjadi PT Perkebunan Nusantara VIII (PTPN VIII). Sisindiran sebagai ungkapan rasa kekhawatiran tersebut mempertanyakan keberadaan akina kina yang semula masih ada di Cinyiruan, Perkebunan Kertamanah PTPN VIII, kini sudah tiada. Pohon kina peninggalan tahun 1855 itu sudah sangat tua, keadaannya sudah dalam posisi bungkuk atau miring. Pantas bila pohon kina itu sudah kakek-kakek dan disebut “Akina Kina”.

Krisbiantoro, artis dan presenter tersohor saat itu, ketika berkunjung ke Kebun Cinyiruan tahun 1995, masih menemukan pohon kina tua yang semula lima pohon, tinggal satu pohon. Namun sayang, menurut penuturan wartawan senior Her Suganda dalam bukunya “Kisah Para Preanger Planters”, satu pohon kina tua itu sekarang sudah tidak ada.

“Parantos teu aya, dituar!” (Sudah tidak ada, ditebang!), tutur seorang petugas keamanan Pabrik Teh Pasir Junghuhn kepada Her Suganda sepulang kunjungan terakhirnya ke Cinyiruan tahun 2013.

Her Suganda adalah penulis dan wartawan senior yang menaruh perhatian terhadap sejarah perkebunan. Her kini sudah tiada, meninggal dunia tahun 2015. Deudeuh teuing, sungguh sayang, kina tua yang merupakan pohon langka yang seharusnya dilindungi, kisahnya berakhir menyedihkan.

Dari Peru ke Jayagiri dan Cinyiruan

Ditemukannya pohon kina sebagai penyembuh penyakit malaria dimulai dari kisah keluarga di Peru, bernama Chincon, yang menderita sakit panas. Karena merasa haus, dalam keadaan sakit dan suhu badan yang panas, ia merangkak ke sebuah danau untuk mengambil air minum. Tidak berapa lama setelah minum air danau yang rasanya pahit, ia merasa sembuh dari sakitnya.

Namun ia merasa penasaran mengapa air danau itu rasanya pahit. Ternyata ada sebatang pohon yang jatuh dan terendam air danau. Pohon itu kemudian disebut kina yang nama latinnya Chincona. Nama Chincona berasal dari Chinchon, penemu pohon tersebut.

Di Indonesia sekarang ditanam beberapa jenis pohon kina, di antaranya Chincona succirubra, Chincona calisaya, Chincona pahudiana, dan Chincona ledgeriana.

Sebelum Perang Dunia II, 90 persen kebutuhan kina dunia berasal dari Indonesia dan sebagian besar berasal dari tanah Parahyangan, Jawa Barat. Waktu itu kina sangat terkenal dan manjur untuk menyembuhkan penyakit malaria.

Lalu bagaimana kisah kedatangan tanaman kina dari Peru ke Indonesia dan sampai ke Jayagiri, Lembang dan Cinyiruan? Kisahnya berawal dari saat Karl Justus Hasskarl, seorang botanikus bangsa Belanda, yang datang ke Peru lalu membawa pohon kina untuk diteliti. Namun, karena sakit, ia tidak melanjutkan penelitiannya. Selanjutnya ditunjuklah Franz Wilhelm Junghuhn untuk menyelesaikan penelitiannya.

Franz Wilhelm Junghuhn lahir di Mansfeld, Prusia, pada tanggal 26 Oktober 1809. Ia sebenarnya seorang pencinta alam, tetapi dipaksa orang tuanya belajar di fakultas kedokteran di Halle dan Berlin, yang sebenarnya bertentangan dengan hasratnya sebagai pencinta alam. Dengan seragam wajib militer, Junghuhn meninggalkan negaranya menuju Afrika Selatan dan tiba di Batavia pada tahun 1835. Selama tiga belas tahun ia melampiaskan hasratnya menjelajahi hutan, danau, kawah, lembah, puncak gunung termasuk candi, patung serta flora dan fauna Indonesia.

Junghuhn juga mengunjungi Sumatera Utara. Di Pulau Jawa ia meneliti Gunung Merapi dan Merbabu. Di Jawa Barat ia meneliti Gunung Tangkubanparahu, Papandayan, Galunggung, Ciremai, Patuha, dan Kawah Putih. Pada tahun 1848 ia mengambil cuti ke Belanda; dan sekembalinya ke Jawa ia menyelesaikan penelitian kina yang dibawa oleh Hasskarl.

Pada tahun 1852 ia mulai melakukan penelitian kina di Indonesia. Di antara tempat penelitiannya adalah di Lembang, sekitar Jayagiri sekarang. Sejak tahun 1885, kina mulai ditanam di dataran tinggi Priangan, di antaranya di Pegunungan Malabar, selatan Bandung. Selanjutnya kina ditanam di lingkungan PTPN VIII. Selain di perkebunan khusus kina seperti di Cinyiruan, Kertamanah, Cikembang, Bukittunggul, kina juga ditanam berdampingan dengan perkebunan teh PTPN VIII.

Di antara perkebunan teh PTPN VIII yang berdampingan dengan perkebunan kina terdapat Perkebunan Pasir Junghuhn, sekarang bergabung dengan Perkebunan Purbasari. Nama Junghuhn diabadikan menjadi nama perkebunan kina dan Rumah Sakit Pasir Junghuhn. Dulu sisa-sisa pohon kina di Pasir Junghuhn masih terdapat di belakang bekas rumah dinas kepala rumah sakit, sekarang sudah tidak ada lagi. Demikian juga perkebunan khusus kina Cikembang sekarang bergabung dengan perkebunan Talun-Santosa, kebun kinanya sudah tidak ada, diganti dengan tanaman kopi.

Dulu, di jalan masuk emplasemen rumah adminstratur Perkebunan Kina Cikembang terdapat pohon-pohon kina yang waktu itu mendapat sebutan “Museum Kina”, beruntung sekarang masih ada. Pohon-pohon kina tersebut perlu dilindungi, sebagai monumen hidup sisa-sisa peninggalan sejarah pohon kina.

Demikian juga tanaman kina yang tersisa dan bangunan-bangunan maupun puing-puing bangunan di Perkebunan Kina Cinyiruan, Kertamanah, selatan Bandung dan Perkebunan Bukittunggul, utara Bandung perlu diselamatkan, untuk dapat diberdayakan sebagai objek wisata agro perkebunan kina.

Dengan demikian, tidak saja perkebunan teh yang dijadikan objek wisata agro perkebunan dengan program “Tea Tour”. Namun peninggalan sejarah kina juga bisa dijadikan objek wisata agro dengan program “Quinine Tour”. [*]

 

Sumber Berita :

https://ayobandung.com/read/2021/03/02/195390/khawatir-kini-kina-tinggal-nama

Share this post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *