Jejak Peninggalannya Bosscha, Tuan Teh yang Dermawan

Jejak Peninggalannya Bosscha, Tuan Teh yang Dermawan

Perkebunan Teh Malabar di Pangalengan Kabupaten Bandung hasil peninggalan Bosscha.(Reival Akbar)

AYOBANDUNG.COM — Ketika mendengar nama Bosscha, ingatan langsung tertuju pada sebuah tempat peneropongan bintang, didaerah Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Namun di Pangalengan Kabupaten Bandung. Pemilik nama lengkap Karel Albert Rudolf Bosscha punya banyak jejak yang sayang untuk dilupakan.

KAR Bosscha adalah putra dari fisikawan Belanda Prof Dr J Bosscha Jr dan ibunya Paulina Emilia Kerkhoven. Sebagian masa mudanya sempat diisi dengan kuliah teknik sipil, meski tidak lulus. Laki-laki kelahiran s-Gravenhage 15 Mei 1865 ini berlayar ke Jawa di usia 22 tahun. Pada 1896, dia  membangun perkebunan teh Malabar di Pangalengan dilengkapi dengan laboratorium dan pabriknya.

Perkebunan alias onderneming menyimpan cerita-cerita pahit, mulai dari sewa tanah yang amat murah sampai eksploitasi kulinya yang juga kejam dengan sebutan Poenale Sancti.

Hingga saat ini cerita tentang tuan kebun, nyaris selalu terdengar buruk dalam sejarah perkebunan di Hindia Belanda. Belum lagi cerita atau gambar seorang kuli dibuka celana bagian bokongnya lalu dicambuk rotan. Namun, di lahan yang dikelola oleh tuan kebun bernama Karel Albert Rudolf Bosscha, belum terdengar cerita macam ini hingga sekarang.

Sebagian orang tahu Bosscha yang kaya-raya karena perkebunan dan pabrik tehnya di Malabar, Pangalengan, adalah sosok tuan teh dermawan yang baik bagi banyak pribumi  dan kebaikannya dikenal turun temurun hingga sekarang.

Ujang Kosmara (45) adalah salah satu warga yang bekerja sebagai pemetik teh di perkebunan itu. Dari para sesepuh ia kerap mendengar sifat dermawan pria asal negeri tulip yang lama tinggal di kawasan tersebut. Pada hamparan kebun teh di atas ketinggian 1.550 mdpl nan hijau perkebunan Malabar selalu diselimuti kabut dan udara yang dingin.

Memiliki luas 2.022 hektare, kawasan perkebunan itu dilimpahi tanah yang subur. Tuan Bosscha menjadi salah satu juragan perkebunan teh yang termasyhur di Priangan. Di masanya, Hindia Belanda menjadi pengekspor teh kualitas nomor satu di dunia bersaing dengan China, India dan Srilangka.

Di Malabar ia berdiam di sebuah rumah yang besar dan halaman yang luas. Dirumah ini dahulunya tempat Bosscha banyak menghabiskan waktu, selain berkeliling kebun dengan menunggangi kuda. Sejumlah bangunan milik ‘sang dermawan’ itu hingga kini masih berdiri. Bergaya arsitektur Eropa, rumah-rumah itu menjadi saksi bisu perjalanan zaman di kebun teh Malabar sampai saat ini.

Tak salah jika Bosscha memilih Malabar sebagai tempat tinggalnya. Jika malam berbalut cuaca cerah, bintang gemintang begitu mudah dipandang. Dari tempat itulah Bosscha terobsesi oleh ilmu perbintangan. Demi obsesinya pada ilmu bintang, Bosscha pada pertengahan 1920-an, Bosscha ikut berpatisipasi membangun observasi bintang yang kini dinamai Observatorium Bosscha.

Bosscha termasuk salah satu pendukung politik etis yang diterapkan di Hindia Belanda sejak 1900. Salah satu buktinya pada 1901 Bosscha mendirikan sekolah dasar bernama Vervoloog Malabar.  Sekolah itu dia bangun untuk memberi kesempatan belajar secara gratis bagi kaum pribumi Indonesia, khususnya anak-anak karyawan dan buruh di perkebunan teh Malabar agar mereka bisa menulis dan membaca. Kini sekolah tersebut bernama SDN Malabar IV yang masih berdiri ditengah-tengah perkebunan teh yang luas.

Upir Supriyatna, (65) adalah generasi ke 4 bertugas sebagai penjaga makam Bosscha, namun sudah diberhentikan terkait regulasi umur. Dia sendiri mengaku sejak kecil hidup dan bekerja di Malabar. Dan dari orangtuanya serta mertuanya ia kerap mendapat cerita tentang Bosscha.

Menurutnya, pada awalnya Vervolool Malabar berbentuk leter U, namun pada 2006 ada orang yang tidak bertanggung jawab membakar sekolah bersejarah tersebut hingga tersisa 5 ruangan kelas. Ditambah 1 bulan yang lalu ada musibah angin kencang yang membuat atap dan ilalang rusak.

Tuhan memanggil Bosscha di usianya yang ke-63 26 November 1928, ia meninggal akibat penyakit tetanus yang dideritanya karena terinveksi ketika terjatuh dari kuda saat akan menuju ke Gunung Nini yang memiliki ketinggian sekitar 1.616 mdpl. Tak lama setelah ia menerima penghargaan sebagai Warga Utama Kota Bandung dan beberapa bulan setelah tibanya Teleskop Besar Zeiss.

Di wilayah perkebunan teh Malabar yang kini dekelola oleh PT Perkebunan Nusantara VIII, jejak Bosscha masih terasa. Kecintaannya pada alam Malabar membuat ia tidak peduli dengan statusnya menjadi bujangan hingga meninggal dan keukeuh untuk dimakamkan di kawasan perkebunan tersebut sesuai dengan permintaanya.

Bosscha dimakamkan di tengah kebun teh yang dikeliligi pohon tua dan kicauan burung-burung di Malabar seluas 8,3 hektare. Dibagian depan terdapat prasasti tanda jasa Bosscha semasa hidup dan kisahnya hingga kini dikenang oleh masyarakat di sana yang moyangnya pernah merasakan kebaikan ‘sang tuan’ yang dermawan.

sumber : https://www.ayobandung.com/read/2020/01/03/75230/jejak-peninggalannya-bosscha-tuan-teh-yang-dermawan

Share this post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *